Permainan Tradisional Indonesia ā Indonesia merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara. Dengan memiliki pulau besar dan kecil dan diantaranya yang tidak berpenghuni menjadikan Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia. Melihat wilayahnya yang sangat luas, tentunya Indonesia memiliki penduduk yang sangat banyak. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2016 tercatat ada 255 juta penduduk di Indonesia. Wilayah yang sangat luas dan penduduk yang melimpah membuktikan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman yang sangat banyak. Keanekaragaman terdiri dari suku, budaya, dan bahasa yang berbeda di setiap daerahnya. Tradisionalisme yang tinggi akan kebudayaan menjadi ikon tersendiri bagi Indonesia. Nah, teman-teman, mari yuk kita selalu menjaga dan melestarikan permainan tradisional Indonesia. Jangan sampai nih punah seperti yang dibahas dalam video di bawah ini! Namun, semakin berkembangnya era globalisasi saat ini berdampak pada budaya pribumi Indonesia. Banyak generasi muda Indonesia yang lebih tertarik dengan budaya barat. Berbicara soal tradisionalisme sebagai ikon bangsa, saya akan membahas permainan tradisional di Indonesia yang saat ini sudah jarang sekali dimainkan. Daftar IsiPermainan Tradisional Indonesia Petak UmpatPermainan Tradisional Indonesia BentenganPermainan Tradisional Indonesia Boi-boianPermainan Tradisional Indonesia Polisi MalingPermainan Tradisional Indonesia Lompat TaliPermainan Tradisional Indonesia Ular NagaPermainan Tradisional Indonesia Pletokan Permainan Tradisional Indonesia Petak Umpat Petak umpat adalah permainan yang dapat dimainkan oleh 2 orang atau lebih. Permainan ini dimainkan dengan cara yang sangat mudah sekali. Pertama, sekelompok orang yang ingin bermain harus melakukan hompimpa untuk menentukan satu orang yang kalah dan akan menjadi penjaga. Setelah hompimpa, maka seorang peserta yang kalah harus menjaga suatu tempat yang menjadi patokan dan mencari peserta lainnya yang mengumpat. Penjaga harus menutup mata saat peserta lain mencari tempat untuk mengumpat. Penjaga menghitung waktu yang sudah ditentukan. Jika hitungan sudah selesai, maka peserta lain harus sudah mendapatkan tempat mengumpat masing-masing dan penjaga pun boleh membuka matanya lalu mulai mencari peserta lain yang mengumpat. Untuk menjadi pemenang, peserta yang mengumpat jangan sampai ketahuan oleh penjaga. Jika melihat penjaga sedang lengah, maka segeralah berlari menuju tempat penjaga dan berteriak ret atau inglo. Namun jika penjaga telah menemukan peserta, maka peserta yang mengumpat itu menjadi kalah. Sebaiknya permainan petak umpat ini tidak dimainkan saat sore menjelang malam hari. Permainan ini salah satu permainan yang sangat populer pada zamannya, namun sekarang permainan ini sudah jarang dimainkan oleh anak-anak. Benteng adalah permainan yang dapat dimainkan oleh 2 kelompok, masing-masing kelompoknya terdiri dari 5 hingga 10 orang. Sesuai namanya, benteng, 2 kelompok yang ingin memainkan permainan ini harus memiliki benteng yang harus dipertahankan agar tidak diambil alih oleh lawan kelompok. Biasanya, permainan benteng ini dimainkan di lapangan bola, dengan gawang yang dijadikan bentengnya atau di suatu lahan kebun yang terdapat pohon besar untuk dijadikan sebagai benteng. Permainan ini bertujuan untuk mengambil alih benteng lawan dengan menyentuh dan berteriak benteng. Peserta akan menjadi tawanan jika tersentuh anggota tubuhnya oleh lawan yang paling dekat waktunya ketika menyentuh benteng. Tawanan biasanya ditempatkan di sekitar benteng lawan dan bisa juga dibebaskan dengan disentuh oleh teman kelompoknya. Permainan Tradisional Indonesia Boi-boian Boi-boian atau bola boi merupakan permainan tradisional yang dimainkan oleh 5 hingga 10 orang. Permainan ini dimainkan dengan menggunakan lempengan batu yang biasanya berasal dari pecahan genting dan bola yang terbuat dari kertas atau bola kasti untuk merobohkan tumpukan lempengan batu. Dalam permainan ini harus ada salah satu orang yang menjadi penjaga lempengan, peserta lainnya akan melemparkan bola secara bergiliran untuk merobohkan lempengan yang sudah ditata. Peserta harus melempar bola hingga merobohkan semua tumpukan lempengan dan penjaga segera mengambil bola lalu dilemparkan ke peserta yang melempar, peserta yang terkena lemparan bola makan bergantian jadi penjaga lempengan. Permainan Tradisional Indonesia Polisi Maling Polisi maling adalah permainan yang membutuhkan energi banyak, karena peserta yang berperan sebagai polisi harus bekerja keras untuk menangkap peserta yang berperan sebagai maling. Permainan ini dapat dimainkan oleh 2 kelompok peserta, masing-masing kelompok biasanya terdiri dari 10 hingga 15 orang. Diantara 2 kelompok harus ada yang berperan sebagai polisi dan sebagai maling. Sesuai dengan profesi sebenarnya, kelompok polisi harus mengejar ke mana pun maling lari dan menangkapnya. Permainan ini usai jika kelompok polisi dapat menangkap semua anggota kelompok maling dan kelompok polisi pun dinyatakan menang. Namun, jika jika kelompok polisi tidak bisa menangkap seluruh anggota kelompok maling, maka kelompok maling dinyatakan menang. Permainan Tradisional Indonesia Lompat Tali Lompat tali merupakan salah satu permainan yang banyak dimainkan oleh anak-anak Indonesia, walaupun di setiap daerah memiliki nama yang berbeda. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak-anak perempuan, namun tak masalah jika anak laki-laki memainkannya. Sebenarnya yang dilompati itu bukan tali, melainkan karet yang telah dianyam hingga panjang. Untuk memainkannya harus ada 2 orang yang bertugas memegang karet untuk dilompati peserta lain. Peserta yang akan melompat harus bisa melewati tali karet. Untuk tantangan peserta ada ukuran ketinggian di setiap sesi lompatan. Ukuran ketinggian dimulai dari dasar permukaan tanah, sebatas lutut, pinggang, dada, bahu, dagu, kening, kemudian di atas kepala, lalu yang terakhir satu jengkal di atas kepala. Jika peserta tidak bisa melompati tantangan di setiap sesi lompatan, maka peserta harus bergantian menjadi pemegang tali karet. Permainan Tradisional Indonesia Ular Naga Ular naga adalah permainan berkelompok yang bisa dimainkan oleh 10 hingga 15 orang. Biasanya permainan ini dimainkan oleh anak-anak usia 5 hingga 10 tahun. Tempat untuk bermainnya bisa memakai lapangan atau halaman rumah yang luas dan permainan ini biasanya dimainkan saat sore atau malam hari. Cara memainkannya, peserta berbaris dan saling memegang ujung baju atau pinggang teman yang ada di depannya. Peserta yang paling besar, harus berperan sebagai induk dan baris di posisi paling depan. Kemudian harus ada 2 orang peserta lagi yang besar untuk berperan sebagai gerbang, dengan berdiri berhadapan dan saling berpegang tangan lalu diangkat hingga di atas kepala. Barisan akan bergerak seperti ular naga, lalu mengitari gerbang yang berada di tengah halaman sembari menyanyikan lagu. Kemudian induk yang berada di barisan paling depan dengan para anggotanya akan berdialog dengan kedua gerbang dan saling membantah mengenai anggotanya yang ditangkap. Anggota yang tertangkap harus memilih antara dua pilihan untuk di tempatkan di belakang salah satu gerbang. Permainan dimulai kembali dengan dinyanyikannya lagi sebuah lagu, kemudian ular naga bergerak kembali mengelilingi gerbang, lalu ada seorang lagi yang ditangkap. Permainan akan berulang-ulang seperti itu hingga induk kehabisan anggotanya. Permainan Tradisional Indonesia Pletokan Pletokan merupakan permainan dengan alat yang terbuat dari bambu, dengan ukuran panjangnya 30 cm dan diameter 1½ cm. Bambu yang dipilih adalah bambu yang tua, karena kuat dan tidak cepat pecah. Untuk penyodok dibuat dari bambu yang diraut bundar menyesuaikan lubang tabung pletokan dan untuk pegangannya dibuat sepanjang 10 cm. Cara bermainnya, peluru bisa menggunakan kertas yang dibasahi, daun, atau pentil jambu air. Untuk menembak, peluru dimasukkan dengan batang pegangan hingga masuk di ujung laras, lalu tolak dengan dorongan keras. Peluru akan terlontar hingga ± 5 m. Pletokan ini biasanya digunakan sebagai sarana bermain perang-perangan.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Di Indonesia banyak permainan tradisional yang cukup popular pada tahun 90-2000an. dimana anak-anak sekolah dasar sampai SMA pun kadang masih memainkannya dikala waktu senggang. Karena pada tahun itu juga belum ada alat komunikasi canggih yang dapat mereka mainkan dengan biaya yang murah. Permainan tradisional yang popular pada tahun 90-2000an tersebut antara lain gobak sodor, benteng, petak umpat, kotak pos, tak jongkok, batu tujuh, polisi maling, congklak, bekel, karet, taplak meja, dan masih banyak adanya interaksi secara langsung banyak sekali manfaat yang didapat dari bermain permainan tradisional ini, sebab permainan tradisional juga melibatkan manusia secara langsung. Tergantung sudut pandang juga pastinya, kita dapat mengambil banyak pelajaran dari permainan tradisional yang popular tahun 90-2000an tersebut. Kita dapat mengambil nilai bela negara dari permainan bela negara yang dapat diambil yakniMenumbuhkan jiwa sportif, Sportifitas dalam permainan sangat dibutuhkan. bersikap adil, jujur, dan patuh terhadap peraturan. Kewajiban sebagai warga negara untuk bersikap adill, jujur, dan patuh terhadap hukum yang berlaku di negara Indonesia. Jika kalah dalam permainan maka orang tersebut harus berjaga, ada konsekuensi yang harus gotong royong dan kerja sama, Negara Indonesia dikenal dengan masyarakatnya yang ramah. Sikap gotong royong dan kerja sama ini terdapat pada permainan tradisional yang dimainkan secara Jiwa kompetitif tidak selalu bermakna negatif, kitab isa menumbuhkan jiwa kompetitif ini untuk mengharumkan nama bangsa mengikuti perlombaan bergengsi dengan negara Permainan tradisional melibatkan masyarakat secara langsung sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan interaksi sosial antar rasa kemanusiaan sejak dini, Jika ada teman yang terjatuh saat bermain, sebagai teman atau lawan kita pasti akan menolongnya. Begitupun sebagai warga negara jika ada warga negara yang kesusahan kitab isa saling tolong budaya Indonesia, Dengan memainkan permainan tradisional Indonesia kita sudah berkontribusi dalam mencintai budaya Indonesia. Kita juga bisa mencintai dan menggunakan produk lokal Indonesia, agar produk Indonesia semakin dikenal. Nilai-nilai bela negara dapat diambil dari hal sederhana contohnya permainan tradisional Indonesia ini. Oleh karena itu, mari kenalkan lagi permainan tradisional kepada generasi milenial yang melibatkan manusia secara langsung sehingga menciptakan interaksi sosial antar masyarakat. Nilai-nilai ini sangat bermanfaat dikehidupan sehari-hari juga loh! Lihat Humaniora Selengkapnya
Permainantradisional dinilai dapat meningkatkan sosialisasi pada anak. Permainan Tradisional Upaya Hindari Ketergantungan Gadget | Republika Online REPUBLIKA.ID
Jakarta - Bagi anak generasi 80-an 90-an, mungkin sudah familiar dengan beberapa permainan tradisional atau bahkan hampir setiap hari memainkannya. Salah satunya adalah permainan polisi-polisian dan penjahat atau di sebagian daerah lainnya di Indonesia saya disebut juga dengan polisi penjahat, polisi maling, atau permainan ini tidak begitu populer seperti permainan tradisional lainnya di Indonesia. Jangan salah, dulu permainan tradisional satu ini banyak dimainkan oleh anak-anak desa. Menariknya, permainan ini juga membutuhkan banyak orang agar membuatnya lebih seru dan mengasyikan. Kendati tidak diketahui secara pasti terkait sejarah dari permainan ini, akan tetapi permainan polisi-polisian dan pejahat ini bisa menjadikan anak untuk bekerja keras. Selain itu, membutuhkan kekompakan dalam kelompok, strategi dan feeling yang tepat untuk bisa memenangkan permainan. Dalam permainannya, akan dibagi menjadi dua kelompok, dan masing-masing kelompok akan beranggotakan 7 10 orang lebih mengasyikan, biasanya anak-anak akan memainkannya di malam hari, tepatnya di malam Minggu. Masing-masing kelompok pun akan ada yang bertugas untuk menjadi polisi, dan ada juga yang bertugas menjadi penjahat. Baca Titinggi Ula-Ali, Permainan Tradisional Sunda yang Jarang DitemuiUntuk menentukan siapa yang menjadi polisi dan penjahat, para pemain akan melakukan suit atau hompimpah. Setelah ditentukan, bagi kelompok yang menjadi polisi, mereka pun bertugas untuk menangkap kelompok yang menjadi penjahat. Sementara itu dalam permainannya, kelompok yang menjadi penjahat juga diperbolehkan untuk berkeliaran dan berlarian ke mana saja, namun tidak boleh melebihi batas yang sudah polisi berhasil menangkap semua penjahat, maka polisi yang menjadi pemenangnya. Akan tetapi kelompok polisi juga bisa dinyatakan gagal menangkap penjahat, apabila polisi sudah menyatakan menyerah. Sehingga sebagai hukumannya kelompok polisi bisa tetap menjadi polisi atau berganti menjadi penjahat dan permainan pun diulang kembali dari awal. Silakan tonton berbagai video menarik di sini Budaya Prasmanan, Saksi Bisu Kekejaman Penjajah Prancis di Tanah Jawa 12 June 2023 121453 Eris Kuswara Jakarta - Kita pastinya sering datang ke sebuah warung makan yang pembelinya itu mengambil sendiri menu makanan yang diinginkan. Atau saat datang ke sebuah pesta, kita juga sering mendapati berbagai menu yang telah tertata rapi di meja secara terpisah untuk setiap menu. Kemudian setelah itu tamu pun dipersilakan untuk mengambil sendiri menu makanan yang cara penyajian makanan seperti itu sering kali disebut dengan istilah "Prasmanan". Selain itu, fenomena cara penyajian makanan model prasmanan ini juga sampai dengan sekarang masih sering dijumpai di berbagai acara besar seperti pesta pernikahan, peresmian gedung, jamuan di hotel dan restoran, dan lain sisi lain, konsep perjamuan prasmanan ini begitu diminati di Indonesia hingga sering dijadikan sebagai pilihan saat menghelat acara-acara besar. Pasalnya, selain relatif lebih praktis, konsep prasmanan juga dapat meminimalisasi jumlah pelayan yang dibutuhkan dalam sebuah pesta punya usut, ternyata cara penyajian makanan seperti itu bukanlah budaya asli masyarakat Indonesia. Melainkan merupakan adopsi dari budaya kuliner dari luar negeri tepatnya dari Prancis. Meskipun begitu, sebenarnya orang Prancis sendiri menyebut cara penyajian makanan seperti itu bukan dengan istilah "prasmanan", melainkan dengan istilah "buffet".Suryatini N. Ganie dalam "Upaboga di Indonesia" 2003 menyebutkan bahwa istilah buffet sendiri diartikan sebagai meja besar yang ditaruh di dekat pintu masuk restoran-restoran. Kemudian di atas meja tersebut, terdapat hidangan yang disusun oleh para pelayan, dengan maksud agar para tamu mendatangi meja itu dan memilih sendiri makanan yang itu dalam konteks prasmanan, seiring berjalannya waktu, cara penyajian makanan ala prasmanan atau buffet ini mengalami modifikasi. Yaitu dengan adanya model penyajian makanan pada meja terpisah untuk setiap menunya yang biasa dijumpai dalam pesta pernikahan. Biasanya, meja-meja tersebut juga akan didekorasi sedemikian rupa, sehingga menyerupai depot atau kedai mini. Meskipun ada daerah yang menyebut konsep penyajian itu dengan istilah prasmanan. Seperti di Palembang, disana sebagian masyarakat Palembang hingga kini masih ada yang menyebut prasmanan sebagai "makan prancis" atau "resepsi ala Prancis". Hal itu pun menunjukkan bahwa prasmanan bukan merupakan tradisi makan lokal asli dari mana sebenarnya datangnya istilah prasmanan ini? Diketahui, kata prasmanan itu sebenarnya berasal dari kata fransman France Man atau sebutan orang-orang Belanda terhadap orang-orang Prancis yang kala itu biasa menghidangkan sajian di atas meja. Cara makan seperti itulah yang kemudian diikuti oleh orang-orang kata fransman yang awalnya merupakan sebutan orang-orang Belanda terhadap orang Prancis, lalu mengalami pergeseran makna menjadi istilah untuk menyebut cara makan ala orang Prancis. Cara makan seperti itu jugalah yang kemudian diadopsi kaum bumiputra hingga membuatnya masih eksis dan diminati sampai dengan saat ini. Baca Cara Masyarakat Minangkabau Kumpulkan Dana Melalui Tradisi BadoncekDikarenakan kaum bumiputra kesulitan dalam melafalkan kata fransman, kata itu kemudian berubah menjadi prasman lalu ditambah imbuhan an hingga menjadi prasmanan. Istilah inilah yang pada akhirnya populer hingga sekarang, dan digunakan untuk menyebut istilah cara penyajian makanan ala itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa cara penyajian ala Prancis atau yang kemudian populer dengan istilah prasmanan ini mulai tren di Hindia Belanda pada 1896-an. Tepatnya pada saat seorang penulis resep masakan bernama Njonja Johanna menulis buku berjudul "Boekoe Masakan Baroe" yang di dalamnya berisi resep pembuatan berbagai kue dengan "Tjara Blanda, Tjina, Djawa, dan Prasman". Kata Prasman di buku tersebut juga mengacu pada cara penyajian makanan ala fransman orang Prancis.Berdasarkan sejarahnya, ternyata budaya kuliner prasmanan ini menjadi "saksi bisu" kebiadaban penjajahan Prancis di Tanah Jawa. Tercatat pada 1792-1797 di Eropa tengah berkecamuk perang besar, yaitu perang antara Prancis melawan pasukan sekutu. Dalam peperangan ini, Prancis pun berhasil tampil sebagai pemenangnya. Adapun perang di Eropa ini dikenal dalam sejarah dengan nama Perang Koalisi 1. Diceritakan kala itu Prancis berhasil mengalahkan pasukan koalisi Austria, Prusia, Inggris, Spanyol, Sardini, dan Belanda. Atas kemenangan itulah, Prancis pada akhirnya berhasil menguasai daerah-daerah di Eropa, salah satunya Belanda. Ketika Belanda dikuasai Prancis, Raja Belanda yang saat itu dijabat oleh Raja Willem, melarikan diri dan meminta perlindungan Kerajaan hanya itu saja, sejak memenangkan Perang Koalisi 1, Belanda juga secara resmi menjadi jajahan Prancis. Bukan hanya dalam negeri Belanda saja, akan tetapi juga wilayah jajahan Belanda di seluruh dunia, termasuk Pulau Jawa. Pada masa inilah Prancis menugaskan Herman Willem Daendels untuk menjadi Gubernur di Hindia Belanda yang berpusat di Pulau Jawa pada 1808. Lalu di masa ini jugalah kebiadaban penjajahan Prancis dimulai. Pada masa itu, Daendels melakukan kerja paksa pembuatan jalan terpanjang di Hindia Belanda, sebuah jalan raya yang dibangun mulai dari ujung barat Pulau Jawa Anyer sampai dengan ujung timur Pulau Jawa Panarukan. Saat tanam paksa itulah, para pekerja tanam paksa diberi makan dengan cara penyajian makanan yang diletakkan di atas meja panjang. Para pekerja paksa juga harus antri berbaris untuk mendapatkan makanan yang mereka inginkan. Model penyajian makanan inilah yang kemudian disebut sebagai makan prasmanan. Terlepas dari kebiadaban kaum imperialis, kehadiran bangsa-bangsa lain tentunya telah memperkaya khazanah seni kuliner di prasmanan, ada juga pemakaian sendok dan garpu, serta sumpit saat makan mi merupakan adopsi dari budaya kuliner bangsa lain yang pernah datang ke tonton berbagai video menarik di sini Tari Sajojo, Warisan Budaya Leluhur Papua Barat 11 June 2023 151519 Admin Papua Barat - Tarian di Indonesia memang banyak jenisnya. Setiap tarian juga melambangkan makna dan warisan budaya dari para leluhur. Salah satunya tarian tradisional yang terkenal, sebut saja tarian unik khas Papua Barat yakni tari Sajojo. Menariknya tarian ini juga diiringi dengan lagu dari tari Sajojo ini merupakan tarian tradisonal yang liriknya berbahasa Moi. Tarian yang berasal dari daerah Sorong, Papua Barat ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Papua. Biasanya tari tradisional ini sering ditampilkan di beberapa acara, seperti upacara adat, penyambutan tamu besar, dan berbagai kegiatan budaya ini pertama kalinya diciptakan oleh David Rumagesan. Tari sajojo menceritakan tentang gadis cantik desa yang sangat dicintai oleh kedua orang tuanya. Tak hanya itu saja, gadis desa ini juga merupakan dambaan bagi para lelaki para lelaki desa itu juga sampai berharap bisa berjalan-jalan dengan si kembang desa tersebut. Selain itu, keceriaan dalam lagu ini juga sangat cocok dengan tariannya. BacaTari Seblang, Tarian Sakral Pemanggil Roh Leluhur dari BanyuwangiDilansir dari laman asal usul tari ini diciptakan adalah sebagai bentuk wujud syukur masyarakat terhadap kesuburan dan hasil panen. Pada setiap gerakan tariannya, diyakini melambangkan gerakan kerbau yang sangat sisi lain, tari Sajojo juga mengandung makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Papua. Pasalnya tarian itu melambangkan perjuangan hidup manusia, dan kerja sama dalam mengatasi masalah. Bahkan di salah satu gerakannya juga melambangkan siklus dalam melakukan tarian ini juga sangat energik. Salah satunya adalah gerakan "Langkah Sajojo", yakni langkah maju mundur dengan tangan membentuk huruf V. Adapun langkah lainnya yang tak kalah energiknya yakni langkah "Sajojo Jump", "Sajojo Leap", dan "Sajojo Spin" dengan gerakan utamanya yakni melompat dan itu, untuk instrumen yang digunakan dalam tarian ini adalah kendang, ceng ceng, simba kecil, saron, bonang dan gong. Kemudian untuk pakaian yang digunakan penari dalam melakukan tari sajojo, adalah pakaian tradisional yang terbuat dari akar dan seiring berkembangnya zaman, kini baju yang digunakan juga cukup bervariatif yakni dengan menggunakan aksesoris kepala dan lukisan tubuh. Hingga saat ini, tarian sajojo masih sangat digemari oleh masyarakat Papua. Sebab, mereka juga tidak ingin budaya dari nenek moyang tersebut hilang termakan oleh tonton berbagai video menarik di sini Mengenal Permainan Tradisional Cak Bur Khas Sumatra 11 June 2023 121628 Admin Sumatra Barat - Permainan tradisional di Indonesia sangatlah banyak. Biasanya permainan itu sering dilakukan anak anak untuk mengisi masa waktu luang setelah bersekolah. Salah satunya yang biasa dimainkan, adalah permainan cak bur. Diketahui, permainan tradisional ini berasal dari Sumatra Barat atau lebih tepatnya merupakan permainan khas Minangkabau. Dikutip dari laman permainan cak bur ini hampir mirip dengan permainan galah panjang yang ada di Jawa dari penamaan permainan cak bur ini dikarenakan ketika saat bermain akan mengatakan "cak", dan ketika berakhir akan mengatakan "bur". Menariknya, permainan ini dapat mengasah ketangkasan dan kecepatan anak-anak ketika itu, dilansir dari laman permainan ini dilakukan dengan membuat kotak-kotak di atas tanah dengan ukuran 2x2 meter. Adapun cara memainkan permainan Cak Bur, yakni dengan menyiapkan dua tim berjumlah masing-masing pemainnya kurang lebih 3-5 orang. Kedua tim itu juga nantinya akan ditentukan siapa yang menjadi tim penjaga dan siapa tim yang bermain. Kemudian setelah itu, peserta bermain dengan menggambar kotak yang disesuaikan dengan jumlah pemain. Baca Tok Kadal, Permainan Khas Betawi yang Terinspirasi dari BengkarungUntuk aturan bermainnya sendiri cukup sederhana, tim jaga akan bertugas menjaga tim lawan supaya tidak mencapai garis finish. Sementara pemain lawan, harus berusaha agar tidak tersentuh tim jaga hingga berhasil menuju ke garis finish. Tim lawan bisa dikatakan menang apabila ada salah satu pemainnya yang berhasil menuju garis finish. Jika tim lawan kalah, maka akan bergantian bermain dengan tim bisa melatih ketangkasan dan kecepatan anak, permainan ini juga dapat melatih kerja sama antar tim sekaligus melatih kesabaran anak untuk terus berusaha ketika ingin memeperoleh berjalannya waktu, permainan tradisional di Indonesia saat ini sudah mulai tergeser oleh permainan gadget. Bahkan anak-anak zaman sekarang lebih suka bermain HP sendirian dari pada bermain dengan teman sebaya. Oleh karena itulah, kita bisa mengenalkan kembali permainan tradisional kepada anak anak agar permainan tradisional Indonesia tidak hilang termakan oleh tonton berbagai video menarik di sini Menggali Makna Mendalam dari Lagu Madura "Aduh Kacong Bekna Sengak" 09 June 2023 071633 Eris Kuswara Jawa Timur - Baru-baru ini, lagu berjudul "Aduh Kacong Bekna Sengak" mendadak viral di media sosial khususnya di TikTok dan Instagram. Bahkan lagu tersebut juga mendapatkan perhatian yang cukup besar dari publik. Tak hanya itu saja, lagu ini juga dikaitkan dengan gaya tari khas warga Madura, Jawa apa sebenarnya makna dan arti dari lirik lagu 'Aduh Kacong Bekna Sengak' ini?Berdasarkan sejarahnya, diketahui lagu "Aduh Kacong Bekna Sengak" ini awalnya merupakan bagian dari syair Madura yang memiliki judul asli "Caretana Oreng Mate" atau Kisah Orang Meninggal. Syair tersebut dinyanyikan oleh Ustaz Sattar sendiri berasal dari Jam'iyah Salawat Nurul Iman Pamekasan, dan syair ini diperkirakan pertama kalinya muncul pada awal belakangan ini, syair lagu tersebut kembali populer melalui media sosial TikTok dengan judul "Aduh Kacong Bekna Sengak" dan disertai juga dengan tarian hadrah gemulai ala Madura. Baca Upacara Nyadar, Tradisi Masyarakat Suku Madura Sambut Musim Panen GaramBerbicara mengenai makna yang terkandung dalam syair "Aduh Kacong Bekna Sengak", syair tersebut menggambarkan keadaan seseorang yang telah meninggal dunia. Termasuk juga dengan penderitaan yang dialaminya, keluarga yang ditinggalkan, proses pemakamannya, hingga siksaan atau nikmat yang akan ia terima di jika seseorang menjalani kehidupan yang baik di dunia, maka ia akan mendapatkan keberuntungan di alam barzah. Akan tetapi jika tidak, ia justru akan mengalami siksaan yang menghancurkannya sampai menjadi karena itulah, penyair lagu ini senantiasa mengingatkan pendengarnya khususnya generasi muda agar selalu mengingat akhirat sebagai tempat kembalinya hanya itu saja, mereka juga disarankan untuk semakin meningkatkan amal perbuatan baiknya dan tidak terlalu terpaku pada kehidupan duniawi. Sebab, pada akhirnya dunia itu tidak akan dibawa tonton berbagai video menarik di sini Sering Dikonotasikan Negatif, Ini Arti Kata "Ewe" Bagi Masyarakat Indramayu 06 June 2023 121040 Eris Kuswara Jawa Barat - Indonesia terkenal sebagai negara dengan keanekaragaman suku dan budayanya. Oleh karena itulah, lain daerah, lain pula bahasanya. Seperti halnya kata "Ewe" yang saat ini sering dikonotasikan negatif, namun justru memiliki arti lain di Indramayu, Jawa Sunda menjadi bahasa daerah di Indonesia yang hampir digunakan oleh seluruh masyarakat yang tinggal di Provinsi Jawa Barat. Meskipun begitu, ternyata bahasa Sunda ini memiliki keberagaman kosakata dan frasa. Termasuk juga yang digunakan oleh masyarakat Sunda yang tinggal di sebagian wilayah Kabupaten di wilayah Kecamatan Lelea, bisa dikatakan bahasa Sunda yang digunakan masyarakatnya tergolong unik. Pasalnya, masyarakat di daerah tersebut masih memakai Sunda Kuno atau yang dikenal dengan buhun. Sehingga tidak mengherankan sekali jika terdapat perbedaan di beberapa kosakata maupun logat, dengan Bahasa Sunda yang ada di wilayah Jawa Barat satu yang cukup unik adalah penggunaan kata untuk menyebut istri. Di Kecamatan Lelea dan sekitarnya, biasanya warga akan mengucapkan kata "Ewe" sebagai sebutan bagi seorang istri dan bukan memiliki arti menikah atau bahkan berhubungan intim. Meskipun begitu, kadangkala perbedaan makna tersebut sering mengundang dari laman detik, Anggi Suprayogi 27 warga Tamansari, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu mengatakan bahwa kata ewe yang biasa digunakannya itu bermakna berbeda jika diterapkan di wilayah lain. Baca Sejuta Alasan Orang Sunda Tak Bisa Lafalkan Huruf "F""Saat itu, ada sebuah rombongan warga yang datang ke Bandung. Namun, di tengah obrolan dengan warga di sana, ada satu warga yang menyebutkan kalimat 'ewe inya diewe aing' artinya 'istri kamu bersama istri saya'. Sontak saja kalimat yang dilontarkan saat itu membuat lawan bicaranya yang merupakan orang Bandung kebingungan," kata senada dituturkan Kepala Desa Lelea, Raidi. Ia menjelaskan bahwa kata ewe memang lazim digunakan masyarakat di Desa Lelea untuk menyebut istri. Selain itu, biasanya sebutan bagi perempuan itu menggunakan kata "Wewe" dengan tambahan suku kata lainnya yang akan menunjuk pada jenjang usia."Biasanya ada kata Wewe Kolot yang artinya perempuan tua. Kemudian ada juga Wewe Ngora atau perempuan muda dan Wewe Leutik yang merupakan sebutan untuk perempuan yang masih kecil," jelas saat tradisi Ngarot, sebutan bagi perempuan kecil atau gadis yang belum menikah bukan disebut Wewe Leutik, melainkan diganti dengan sebutan Cuene. "Kalau wewe itu untuk sebutan sehari-hari. Nah, kalau saat Ngarot, biasanya sebutannya itu Cuene. Meski begitu, sebenarnya arti keduanya sama aja," itu, sebagaimana diketahui bahwa Bahasa Sunda yang digunakan warga sekitar Kecamatan Lelea itu sudah ada sejak 1600-an silam. Menariknya lagi bahasa Sunda yang digunakan masyarakat disana tergolong otentik, karena merupakan bahasa kuno yang kerap disebut dengan bahasa tonton berbagai video menarik di sini Tradisi Unik Suku Korowai, Asingkan Ibu Hamil Hingga Melahirkan ke Dalam Hutan 04 June 2023 121534 Eris Kuswara Papua - Daerah pedalaman Papua menjadi tempat tinggal dari salah satu suku Papua. Namanya Suku Korowai. Suku ini juga terkenal dengan kebudayaan dan tradisinya yang Suku Korowai terisolasi dari dunia luar dan modernitas yang muncul. Bahkan sebagian dari anggota suku ini juga ada yang masih hidup secara tradisional. Yakni dengan bermukim di atas pohon-pohon tinggi, serta membuat rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan daun rumbia. Tak hanya itu saja, suku ini juga hidup jauh dari akses infrastruktur modern, terutama kesehatan. Selain itu, suku yang memiliki populasi sekitar orang ini memiliki kebudayaan dan tradisi soal melahirkan. Para sesepuh suku ini biasanya akan mengasingkan seorang ibu hamil untuk pergi ke hutan, tanpa ada yang beralasan bahwa seorang ibu hamil itu sedang dalam keadaan sakit akibat terkena roh jahat. Di satu sisi, penyakit itu juga bisa menyebar ke orang lain di sekitarnya, termasuk kepada suami dan anak-anaknya. Oleh karena itulah, untuk mencegah penyebaran penyakit, ibu hamil tersebut harus tinggal di rumah sisi lain, Suku Korowai sendiri menyatakan bahwa pengasingan tersebut bertujuan untuk menguji keberanian dan ketangguhan sang ibu hamil. Mereka percaya bahwa jika ibu hamil bisa hidup dan bertahan di hutan sendirian, maka dia akan melahirkan anak yang sehat dan tidak, dia akan mati bersama bayinya. Untuk proses pengasingannya itu biasanya akan berlangsung selama beberapa bulan hingga sang ibu hamil siap melahirkan. Selain itu juga, sang ibu hamil pun tidak mendapatkan bantuan dari siapa pun. Baca Hidup Nomaden, Suku Kamoro Papua Lekat dengan 3SIa juga harus melahirkan bayinya sendirian di rumah pohon, serta hanya bisa mengandalkan alam sebagai sumber makanan dan obat-obatan. Dia juga harus memotong tali pusarnya sendiri dengan menggunakan bambu atau batu ibu hamil tersebut berhasil melahirkan dengan selamat, maka dia akan membawa bayinya kembali ke pemukiman dan diterima oleh keluarganya. Apabila ia gagal, dirinya akan meninggal di hutan tanpa diketahui oleh orang ini pun dinilai memberikan dampak yang negatif kepada bayi Suku Korowai yang akan lahir. Sebab, banyak ibu hamil yang meninggal akibat komplikasi persalinan, infeksi, perdarahan atau serangan binatang yang lahir juga sangat berisiko mengalami kematian bayi, gizi buruk atau mengalami penyakit menular. Tak berhenti sampai disana saja, pengasingan juga dapat menimbulkan dampak psikologis bagi ibu hamil, seperti kesepian, ketakutan, stres, atau karena itulah, beberapa pihak pun telah berupaya untuk mengubah tradisi Suku Korowai itu agar lebih manusiawi dan sehat. Salah satunya seperti yang dilakukan pemerintah dengan telah membangun puskesmas dan posyandu di beberapa desa, untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ada beberapa LSM dan gereja yang juga telah memberikan edukasi serta bantuan kepada masyarakat Korowai. Hal ini dilakukan terkait dengan perawatan prenatal dan juga persalinan yang aman bagi tonton berbagai video menarik di sini Ketika Masyarakat Panjalu Dilarang Menebang Pohon Berusia 5 Tahun 02 June 2023 151124 Eris Kuswara Jawa Barat - Masyarakat Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat tidak lupa diri karena telah dianugerahkan bisa hidup di lahan yang subur dan dekat belasan mata air. Mereka pun tetap memberikan alam kesempatan untuk memulihkan kondisinya setelah buahnya mereka tanpa alasan, masyarakat Panjalu melakukan hal itu dengan tujuan agar alam tidak murka hingga memberikan bencana yang membahayakan bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat Panjalu juga memiliki sebuah pesan dari leluhurnya yakni "Titip, jangan sampai Gunung Ciremai dan Gunung Sawal menjadi satu".Bagi masyarakat Panjalu, kalimat itu pun dijadikan sebagai pesan mitigasi bencana dari orang tua zaman dahulu. Selain itu, mereka juga memahami bahwa bencana longsor atau banjir bandang bisa terjadi kapan saja saat mereka tinggal di lembah dua gunung itu. Bencana tersebut pastinya akan membuat ribuan warga yang hidup di sekitarnya akan binasa. Pesan itulah yang tetap mereka pegang teguh dan dipertahakan sampai dengan sekarang. Salah satu jalan yang mereka ambil pun adalah hidup berdampingan dan berbagi dengan informasi, Panjalu sendiri merupakan daerah dengan susunan tanah vulkanis dan rentan lepas. Tak hanya itu saja, kawasan ini juga masuk dalam kategori daerah gerakan tanah menengah tinggi. Oleh karena itulah, pohon berakar besar di kaki gunung pun menjadi andalan warga untuk bisa selamat dari terjangan hujan dan pada 1980-an, saat itu warga sempat lupa mengenai pentingnya menjaga pohon sebagai pelindung hidup. Sehingga membuat pembalakan liar pun terjadi hingga membuat banyak kawasan hutan gundul. Akibatnya, bencana longsor membayangi warga setempat terutama saat musim hujan tiba. Baca Hari Hutan, Jaga KelestarianKala itu, penebangan pohon yang sembarangan di sekitar mata air juga membawa petaka dan membuat belasan mata air mendadak kehilangan fungsinya. Imbasnya, krisis air bersih sampai mengancam masyarakat. Dikarenakan rasa khawatir itulah, mendorong warga di delapan desa di Panjalu mulai berbenah. Mereka sampai membuat aturan ketat yang diberlakukan khususnya untuk penebangan pohon. Adapun salah satu programnya adalah melarang warga untuk menebang pohon berumur kurang dari enam tahun. Tak berhenti sampai disana saja, pohon itu juga baru boleh ditebang setelah warga menanam pohon pengganti berusia 1 3 tahun tergantung jenis pohonnya. Warga juga menolak untuk membeli pohon yang dijual ketika usianya belum mencapai 1 3 tahun dan meminta pembeli untuk itu, perlindungan lebih ketat pun diterapkan di Desa Ciomas dengan menetapkan 10 hektare hutan dari total 800 hektare lahan di desa tersebut. Kepala Desa Ciomas saat itu, Mumu mengatakan penetapan itu dilatarbelakangi keberadaan 19 mata air di dalam hutan."Saat di dalam areal yang tumbuh beringin, pinus, dan albasia itu, maka semua orang dilarang menebang. Bahkan sekalipun pohon yang sudah ambruk dan mati pun, dilarang oleh warga untuk diambil atau dimanfaatkan warga. Konsep itu sendiri ternyata sudah diterapkan orang tua zaman dahulu. Namun dikarenakan adanya desakan ekonomi, hal itu dilupakan tonton berbagai video menarik di sini Ni Thowok, Permainan Putri Kraton Awalnya Digunakan Sebagai Ritual 02 June 2023 071345 Eris Kuswara Yogyakarta - Konon pada zaman dahulu, anak-anak akan berkumpul dan bermain bersama di dalam keputren atau tempat tinggal putri keraton. Tak hanya berasal dari kalangan putri, namun ada juga anak laki-laki putra raja yang belum akil baligh yang juga ikut bermain bersama di itu, kebanyakan permainan yang mereka lakukan itu merupakan permainan orang-orang pedesaan yang berasal dari luar kraton. Namun permainan tersebut masuk ke dalam kraton berkat adanya interaksi yang terbangun antara para putri raja dengan para abdi dalem yang berasal dari kalangan rakyat tidak mengherankan sekali apabila permainan mereka seperti dhakon, gobak sodor, cempa rowo, jaranan, serta cublak-cublak suweng pun sering dijumpai di masyarakat pedesaan. Namun di antara semua permainan itu, ternyata ada satu permainan yang terbilang unik. Namanya Ni dari kebanyakan permainan desa yang dimainkan, permainan yang satu ini justru bernuansa magis. Pasalnya, disebutkan bahwa permainan ini awalnya merupakan sebuah ritual dengan tujuan tertentu, seperti memanggil hujan dan juga untuk pengobatan. Lantas bagaimana sejarahnnya Ni Thowok yang awalnya merupakan sebuah ritual, pada akhirnya bisa berubah menjadi permainan di kalangan putri kraton?Dilansir dari laman permainan yang bisa disebut juga dengan Ni Thowong ini dikenal sebagai permainan anak yang bernuansa magis. Biasanya permainan tradisional yang satu ini akan dimainkan saat bulan purnama, dengan boneka yang terbuat dari tempurung kelapa berbadan anyaman bambu, dan diberi pakaian agar dapat menyerupai pengantin perempuan. Baca Tari Seblang, Tarian Sakral Pemanggil Roh Leluhur dari BanyuwangiBerdasarkan sejarahnya, awalnya permainan ini merupakan ritual bernilai magis yang dimainkan dengan tujuan tertentu seperti pengobatan. Di sisi lain, kultur masyarakat Jawa pada saat itu yang masih memuja roh leluhur juga semakin membuat mereka percaya bahwa boneka Ni Thowok akan dirasuki roh halus. Di tengah permainannya, boneka Ni Thowok ini akan bergerak mengikuti iringan mantra dan tembang yang dilantunkan para pemain. Sementara itu, dalam perjalanan sejarahnya disebutkan bahwa Ratu Timur, yaitu putri Paku Buwono VI 1823-1830 sangat gemar dalam menyelenggarakan permainan Ni Thowok. Namun sayangnya setelah Ratu Timur wafat, permainan itu sempat jarang dimainkan. Akan tetapi pada masa pemerintahan Paku Buwono X 1893-1939, sang putri Ratu Pembayun sangat menyukai permainan ini. Berbeda dengan saat dimainkan anak-anak putri pedesaan, di Kraton permainan ini justru diselenggarakan dengan lebih mewah. Contohnya, boneka Ni Thowok akan didandani dengan pakaian lengkap berupa kain batik tulis dengan riasnya. Lalu, diiringan gamelan milik kraton dan tidak menggunakan musik seadanya seperti yang dimainkan di bernuansa magis, akan tetapi sebenarnya permainan Ni Thowok ini bukan sebuah ritual pemujaan terhadap lelembut atau sejenisnya. Peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara Yogyakarta, Hangno Hartono mengatakan bahwa permainan ini justru mengajak para penghuni alam lain untuk bergembira bersama. "Karena dalam budaya Jawa itu tidak ada yang namanya istilah menyakiti atau mengganggu sesama ciptaan Tuhan. Kalau pun sekarang ada, itu sebenarnya kata serapan. Karena manusia dan semua makhluk ciptaan Tuhan itu sebenarnya bisa hidup berdampingan, dan bergembira bersama," jelas Hartono sebagaimana dilansir dari tonton berbagai video menarik di sini Mengenal Jemparingan, Seni Panahan Asli dari Yogyakarta 31 May 2023 120627 Eris Kuswara Yogyakarta - Jemparingan dikenal sebagai olahraga panahan khas Kerajaan Mataram yang berasal dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Olahraga panahan yang dikenal juga dengan jemparingan gaya Mataram Ngayogyakarta ini, dapat ditelusuri keberadaannya sejak awal keberadaan Kesultanan pertama Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I 1755-1792, disebutkan menjadi sosok yang mendorong pengikutnya untuk belajar memanah. Hal itu dilakukan sebagai sarana untuk membentuk watak ksatria. Adapun Watak ksatria yang dimaksud itu adalah empat nilai yang diperintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk dijadikan sebagai pegangan oleh rakyat Yogyakarta, yaitu sawiji atau konsentrasi, greget atau semangat, sengguh atau rasa percaya diri, dan ora mingkuh atau memiliki rasa tanggung pada awalnya, permainan yang satu ini hanya dilakukan di kalangan keluarga Kerajaan Mataram, dan dijadikan sebagai ajang perlombaan di kalangan prajurit kerajaan. Namun seiring berjalannya waktu, seni memanah itu pun kini semakin diminati dan dimainkan oleh banyak orang dari kalangan rakyat ini juga memiliki filosofi yang bertujuan untuk pembentukan watak, salah satunya sawiji. Oleh karena itulah, jemparingan berbeda dengan panahan lain yang berfokus pada kemampuan pemanah dalam membidik target dengan tepat. Selain itu, apabila olahraga panahan biasanya dilakukan sambil berdiri, jemparingan justru dilakukan dalam posisi duduk bersila. Tak hanya itu saja, pemanah jemparingan juga tidak membidik dengan mata. Akan tetapi memposisikan busur di hadapan perutnya, sehingga bidikannya itu didasarkan pada perasaan pemanah. Diketahui, gaya memanah yang dilakukan tersebut juga sejalan dengan filosofi jemparingan gaya Mataram itu sendiri, yakni pamenthanging gandewa pamanthening cipta, atau yang berarti membentangnya busur seiring dengan konsentrasi yang ditujukan pada sasaran yang dibidik. Dalam kehidupan sehari-hari, pamenthanging gandewa pamanthening cipta ini bermakna bahwa manusia yang memiliki cita-cita itu hendaknya berkonsentrasi penuh pada cita-citanya agar dapat tercapai. Sementara itu, jemparingan sendiri berasal dari kata jemparing yang berarti anak hanya itu saja, permainan jemparingan ini juga memiliki nama sendiri untuk perlengkapan yang menyertainya. Jemparing atau anak panah, biasanya terdiri dari deder atau batang anak panah, bedor atau mata panah, wulu atau bulu pada pangkal panah, dan nyenyep atau bagian pangkal dari jemparing yang diletakkan pada tali busur saat untuk busurnya dinamakan gandewa, dan terdiri dari cengkolak atau pegangan busur, lar atau bilah yang terdapat pada kiri dan kanan cengkolak, serta kendheng atau tali busur yang masing-masing ujungnya itu dikaitkan pada ujung-ujung lar. Baca Irama Gejog Lesung Sayup Menggema di YogyakartaSementara untuk sasarannya disebut dengan wong-wongan atau bandulan yang berbentuk silinder tegak dengan panjang 30 centimeter dan berdiameter 3 centimeter. Lalu, sekitar 5 centimeter bagian atas silinder yang diberi warna merah dan dinamakan molo atau sirah kepala. Kemudian untuk bagian bawahnya diberi warnah putih, dan dinamakan awak atau badan. Selanjutnya, pertemuan antara molo dan awak akan diberi warna kuning setebal 1 centimeter dan dinamakan jangga atau leher. Di bawah bandulan akan digantung sebuah bola kecil, dimana pemanah akan mendapat pengurangan nilai apabila mengenai bola ini. Sedangkan di bagian atasnya, digantung lonceng kecil yang akan berdenting setiap kali jemparing mengenai dan jemparing itu dibuat khusus oleh pengrajin yang disesuaikan dengan postur tubuh pemanah, salah satunya adalah rentang tangan pemanah. Penyesuaian ini tentunya sangat diperlukan agar pemanah nantinya merasa nyaman dan dapat memanah dengan optimal. Oleh karena itulah perlengkapan jemparingan akan bersifat pribadi dan sulit untuk jemparingan dilakukan dalam posisi duduk bersila, maka saat memainkannya, seseorang yang memegang busur dan anak panah itu akan duduk menyamping dengan busur ditarik ke arah kepala sebelum ditembakkan ke arah wong-wongan. Pemanah juga harus berusaha mengenai sasaran dengan tepat. Semakin banyak banyak anak panah yang mengenai bandulan, maka semakin banyak pula nilai yang didapatkan. Terlebih lagi jika mengenai molo yang berwarna merah. Meskipun begitu, jangan sampai mengenai bola kecil di bawah bandulan apabila tidak ingin mendapatkan pengurangan nilai. Seiring berkembangnya zaman, jemparingan pun kini mulai mengalami beberapa perubahan. Saat ini, terdapat berbagai cara memanah dan bentuk sasaran yang dibidik. Akan tetapi, semuanya itu juga tetap berpijak pada filosofi jemparingan sebagai sarana untuk melatih konsentrasi. Di sisi lain, beberapa orang juga kini tidak lagi membidik dengan posisi gandewa di depan perut. Namun dalam posisi sedikit miring, sehingga pemanah dapat membidik dengan sebelumnya sempat terancam hampir punah dikarenakan peminatnya yang semakin sedikit, terutama setelah meninggalnya salah satu pendukung jemparingan, Paku Alam VIII. Akan tetapi dewasa ini seni memanah tradisional itu justru digandrungi oleh generasi muda, terutama di lingkungan lingkungan Keraton Yogyakarta, permainan jemparingan juga rutin melaksanakan latihan setiap minggu. Para pemanah, dalam busana khas Jawa, kebaya dan batik untuk wanita, lalu surjan, kain batik dan blangkon untuk kaum pria, akan merentang busur untuk menempa hati, memusatkan pikiran dan konsentrasi untuk sebuah tujuan yang ingin tonton berbagai video menarik di sini Mangenta, Tradisi Suku Dayak Ungkapkan Rasa Syukur Pada Sang Pencipta 30 May 2023 151153 Eris Kuswara Kalimantan Tengah - Bulan April dan Mei menjadi bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh para petani di pedesaan Nusantara. Pasalnya dalam periode itu, hamparan padi di sawah sudah siap untuk masa itu juga seluruh masyarakat desa akan saling gotong royong untuk menuai hasil panen sekaligus juga untuk merayakan rasa syukur atas berkah panen yang satunya seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak yang tinggal di Kalimantan Tengah Kalteng. Diketahui, mereka mempunyai tradisi dalam menyambut panen padi yang diturunkan oleh nenek moyang Dayak sejak zaman dahulu kala. Mangenta yang berupa kegiatan kaum petani dalam mengungkapkan rasa syukur atas dimulainya musim panen padi itu tetap lestari dan terjaga dengan baik hingga saat ini. Disebutkan bahwa masyarakat Dayak pada zaman dahulu, menjaga tradisi mangenta ini dengan tujuan untuk mendahului masa berkembang biaknya hama padi seperti tikus, burung, atau pelaksanaannya, masyarakat pun akan beramai-ramai membuat kenta, makanan khas Dayak Kalteng berbahan dasar ketan. Kenta yang dimasak itu akan disangrai dan ditumbuk dalam lesung. Menariknya lagi, makanan ini hanya disajikan pada momen tertentu, seperti saat upacara adat atau pernikahan suku Dayak Ngaju. Selain itu, tradisi ini dilakukan suku Dayak yang berdiam di Daerah Aliran Sungai DAS Kahayan. Di sisi lain, mangenta juga dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi atau istilah adatnya, prosesi kuman behas taheta atau makan beras baru. Baca Ongkek, Sesaji dalam Ritual Yadnya Kasada yang Penuh dengan MaknaAdapun bahan yang diperlukan untuk membuat kenta diantaranya padi ketan, kelapa muda, gula putih atau gula merah, dan air kelapa muda. Sementara itu, untuk cara membuatnya dimulai dengan menyangrai padi ketan yang sudah direndam dan ditiriskan selama kurang lebih 10 menit dengan api sedang. Setelah itu, padi yang sudah disangrai itu kemudian ditumbuk hingga halus. Sedangkan untuk cara memasak kenta, langkah pertamanya adalah menambahkan air kelapa secukupnya pada kenta yang sudah bersih lalu diamkan selama kurang lebih lima menit. Selanjutkan tambahkan gula pasir atau gula merah, parutan kelapa serta garam secukupnya. Terakhir, aduk semuanya hingga tercampur rata dan diamkan kurang lebih lima menit. Kenta pun siap untuk hanya itu saja, kenta juga dapat diseduh dengan air panas lalu diberi campuran susu. Tekstur kenta yang kenyal dan bercitarasa manis, tentunya membuat olahan yang satu ini akan terasa semakin sayangnya seiring berjalannya waktu, saat ini banyak generasi muda Kalteng bahkan keturunan Dayak sendiri tidak mengetahui tentang tradisi mangenta ataupun makanan kenta. Oleh karena itulah, berbagai upaya untuk mengenalkan tradisi nenek moyang ini bisa dilakukan dengan tidak hanya sekadar varian original saja. Pasalnya penganan tradisional kenta juga bisa menjadi kuliner modern yang digemari semua orang termasuk generasi tonton berbagai video menarik di sini Cara Masyarakat Minangkabau Kumpulkan Dana Melalui Tradisi Badoncek 30 May 2023 070854 Eris Kuswara Sumatra Barat - Tahukah kamu? Masyarakat Minangkabau, khususnya yang tinggal di Padang Pariaman, Sumatra Barat, memiliki tradisi saling gotong royong untuk warganya yang dikenal dengan nama "Badoncek". Tradisi badoncek digelar dengan tujuan untuk mengumpulkan dana dari masyarakat. Nantinya, dana yang sudah dikumpulkan itu akan digunakan demi kepentingan adat, sosial, dan agama. Hal ini tentunya sangat berguna sekali, demi mengatasi persoalan dana yang tidak bisa diatasi secara dari laman dari Antara, berbicara mengenai sejarahnya, tradisi ini lahir karena sebuah falsafah Minang "Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang" yang berarti "berat sama dipikul dan ringan sama-sama harus dijunjung".Dalam pelaksanaannya, biasanya tradisi Badoncek ini dilakukan saat acara halal bihalal atau tepatnya saat para perantau kembali ke kampung halamannya. Para perantau inilah yang kemudian akan bersaing memberikan sumbangan terbaik, sebagai wujud cintanya kepada kampung kegiatan Badoncek sendiri berasal dari kata doncek yang berarti melompat atau melempar. Hal ini di maksudkan agar uang yang diberikan dengan cara melemparkannya ke atas meja itu dilakukan secara terbuka dan disaksikan khalayak untuk istilah canang atau janang, mengacu kepada seseorang yang sangat mahir dalam memainkan kata untuk menarik perhatian para penonton. Selain itu, canang juga kerap menjadi pusat perhatian dalam kegiatan Badoncek. Baca Menguak Misteri Buk Buk Neng, Tradisi Masyarakat Mojokerto dalam Mencari Orang HilangJihan Raffah Syafni dalam "Kearifan Lokal Minangkabau dalam Tradisi Lisan 'Badoncek' di Pariaman" menyebutkan bahwa canang itu harus mampu menarik hati, perasaan dan emosi penonton, agar nantinya sumbangan yang diberikan bisa lebih banyak badoncek ini diadakan pada malam hari, maka biasanya tamu yang masih tersisa adalah kerabat dekat dan masyarakat setempat. Mereka inilah yang nantinya akan terlibat langsung sebagai peserta Badoncek. Dalam pelaksanaannya juga, semakin tinggi status sosialnya, maka semakin banyak uang yang akan terkumpul. Melalui tradisi ini juga akan terlihat prestise sebuah keluarga di tengah masyarakat. Terlebih lagi setelah uang terkumpul, canang juga akan mengumumkan besaran uang yang diperoleh. Dalam sebuah artikel berjudul "Badoncek dalam Tradisi Masyarakat Padang Pariaman Sumatra Barat" disebutkan bahwa masyarakat Minangkabau bisa mengumpulkan uang dalam jumlah nominal yang cukup tetapi, hal tersebut juga tergantung dari keahlian Tukang Janang yang memainkan perannya. Diceritakan pada awalnya Tukang Janang akan memanggil nama warga secara acak. Kemudian nama yang disebutkan itu akan menyumbangkan uang yang seluruh dana berhasil dikumpulkan, dan nantinya akan digunakan untuk membangun masjid hingga membangun sarana dan prasarana lainnya. Selain itu, biasanya tujuan pengambilan dana ini sudah disampaikan terlebih Badoncek ini di dalamnya sangat terlihat sekali semangat kebersamaan, dan nilai gotong royongnya. Di sisi lain, hal ini sebagai wujud hubungan sosial yang erat antar sesama masyarakat khususnya bagi tonton berbagai video menarik di sini Ongkek, Sesaji dalam Ritual Yadnya Kasada yang Penuh dengan Makna 28 May 2023 150127 Eris Kuswara Jawa Timur - Masyarakat Tengger yang tinggal di Jawa Timur, mengenal semacam sesaji yang disebut dengan ongkek. Bagi mereka, ongkek tersebut mempunyai makna filosofis yang mendalam dan tidak bisa dibuat dengan itu, masyarakat Tengger juga mempunyai beragam tradisi dan adat istiadat yang masih dilestarikan dan tetap terjaga hingga saat ini, tak terkecuali juga ritual adat yang rutin satu ritual adat yang biasa dilakukan masyarakat Tengger adalah Yadnya Kasada. Ritual ini dilaksanakan sebagai simbol rasa hormat dan wujud syukur masyarakat Tengger kepada leluhur mereka. Tak hanya itu saja ritual adat ini juga dijadikan sebagai sarana penyucian diri. Dalam ritual adat Yadnya Kasada, terdapat sesaji yang dihadirkan sebagai persembahan kepada leluhur. Ongkek namanya. Sesaji itu menjadi suatu hal yang penting dan tak boleh terlewat setiap momen Yadnya Kasada tiba. Oleh karena itulah, sebelum Yadnya Kasada dimulai, masyarakat Tengger sudah sibuk membuat sesaji ongkek ini akan terdiri dari hasil bumi seperti buah, sayur, dan umbi-umbian. Selain bermakna sebagai wujud rasa syukur, semua yang disediakan oleh masyarakat Tengger itu juga untuk mengenang leluhur mereka, yakni Joko Seger dan Roro Anteng. Baca Cerita Rakyat Dewi Rara Anteng dan Raden Jaka SegerDalam pembuatannya, aneka hasil bumi akan dirangkai dan ditata sedemikian rupa. Bahkan, agar tampak rapi, hasil bumi tersebut disusun menggunakan tian penyangga yang terbuat dari bambu. Hasilnya maka akan jadilah ongkek yang berbentuk melengkung seperti gapura penuh dengan hiasan berwarna-warni hasil jadi, ongkek tersebut akan dibawa warga desa ke Pura Luhur Poten yang berada di kaki Gunung Bromo, tempat di mana upacara dan doa bersama diadakan. Kemudian setelah itu, ongkek akan dibawa lagi ke kawah Gunung Bromo untuk dilarung. Selain itu, ongkek ini juga ternyata tidak boleh dibuat dan dibawa ke Gunung Bromo secara sembarangan oleh warga desa. Sebab, ada aturan yang harus ditaati oleh warga desa, yakni di desa tidak boleh sedang dilanda momen berduka, seperti musibah atau adanya orang yang meninggal dunia menjelang Yadnya Kasada. Sehingga dengan kata lain, desa tersebut harus benar-benar dalam keadaan "bersih".Sementara itu, untuk pelaksanaan Yadnya Kasada pada 2023 ini, rencananya akan dilaksanakan pada 3 5 Juni 2023 mendatang. Di tanggal itu, masyarakat Tengger yang tinggal di sekitar Gunung Bromo pun dapat kembali melarung ongkek apabila tidak ada duka yang menyelimuti tonton berbagai video menarik di sini
9sP8GkN.